Mungkin kita
hanya belum menemukan waktu yang tepat untuk duduk berdua dan membicarakan
hal-hal favorit kita.
Seiring waktu
berlalu, sejauh jarak yang memisahkan kita, rasa rindu itu semakin memuncak,
namun waktu tak juga bertemu titik lelahnya. Dia masih kukuh menjadi penghalang
sela-sela kesempatan bertemu kita. Waktu jahat ya? Apatis.
Selama ini, duduk
menyendiri dan membayangkan kau ada didepan mataku adalah makanan
sehari-hariku. Menunggu, sama dengan mati suri. Dalam beberapa saat kita
dipisahkan, disaat itulah aku mati. Dan beberapa saat kita dipertemukan, disaat
itulah aku hidup kembali. Rasanya hidup belum abadi jika bayangmu saja sulit
kuterka. Rindu mas, aku rindu.
Mungkin salahku
yang terlalu egois. Terlalu egois untuk memaksakan kau selalu ada disisiku.
Tidak, bukan aku yang egois, tapi hatiku. Rasanya semua terlalu sulit untuk
dipisahkan.
Rasanya belum
lama kita sering duduk berdua disini, menceritakan pengalaman masing-masing,
berbagi tawa, duka, berbagi coklat dan permen dalam saku, semua itu terjadi
baru 7 bulan lalu. Baru sesingkat itu saja aku sudah sangat merindukan sosokmu
mas.
Dulu aku sering
protes, karena banyak hal yang terlalu kuperjuangkan, sedangkan kau tidak. Tapi
aku salah besar! Aku salah karena terlalu menyombongkan pengorbananku, padahal
dibalik sosokmu ada sejuta pengorbanan untukku. Ya, untukku. Menempuh jarak dan
waktu yang tak terhitung untuk sekedar bertemu dan berbincang sekadarnya. Rela
menempuh hujan badai di bulan lalu demiku, namun aku malah ngambek dan mogok
ketemuan. Betapa jahatnya aku padamu, mas.
Maaf jika aku
terlalu apatis. Maaf jika keegoisanku melebihi rasa cintaku.
Tapi, aku sayang
kamu mas, aku rindu. Cepat pulang ya, bawa cita-cita yang kau kejar untukku,
bawa pembuktian janji-janji ingin hidup denganku itu.
Selamat tanggal
24.